Beranda | Artikel
Hukum Memanfaatkan Sesajen
Kamis, 28 April 2016

HUKUM MEMANFAATKAN SESAJEN

Pertanyaan.
Bolehkah Kita mengambil dan memanfaatkan barang-barang bekas ritual ibadah orang-orang kafir selain makanan (seperti wadah sesuatu atau bejana, sandal dan lain sebagainya) yang mereka buang (karena dianggap mendatangkan sial) ?

Jawaban.
Boleh. Karena pemilik barang sudah membuangnya dan tidak membutuhkannya, padahal barang-barang itu masih bisa dimanfaatkan. Tidak memanfaatkan barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan termasuk menyia-nyiakan harta. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا قِيلَ وَقَالَ ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

Sesungguhnya Allâh membenci untuk kalian tiga perkara: desas-desus; menyia-nyiakan harta; serta banyak bertanya. [HR. Bukhâri dan Muslim]

Perlu kami ingatkan, meskipun tidak ditanyakan bahwa binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain nama Allâh, maka dagingnya haram dikonsumsi. Allâh Azza wa Jalla berirman :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Diharamkan bagimu (mengkonsumsi) bangkai, darah (mengalir), daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh. [al-Maidah/5: 3]

Lalu, bagaimana hukum selain dagingnya ? Syaikh Muhammad Hâmid al-Fiqi al-Mishri rahimahullah mengatakan, “Demikian juga makanan, minuman, atau lainnya, yang dinadzarkan untuk selain Allah Azza wa Jalla atau sesaji untuk selain Allâh. Semua makanan yang diproduksi dengan menyebut nama-nama sesembahan selain Allah dan demi mendapatkan berkah darinya yang dibagikan kepada orang-orang yang tirakat (semedi/mencari berkah) di dekat kubur-kubur dan thaghut-thaghut (semua yang disembah selain Allâh-red), itu semua sama hukumnya dengan hukum hewan yang disembelih untuk selain Allâh’. [Catatan kaki Kitab Fathul Majîd, hlm. 151, penerbit. Dârul Fikr; cet. 7; th. 1399 H/1979 M]

Namun perkataan syaikh Muhammad Hâmid al-Fiqi rahimahullah ini dikomentari oleh syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah sebagai berikut, “Masalah ini perlu dirinci ; Jika yang dimaksudkan adalah (menjelaskan bahwa-red) perbuatan itu merupakan syirik, karena hal itu merupakan sebentuk ibadah dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada selain Allâh, maka itu benar. Karena siapapun tidak boleh beribadah kepada selain Allâh dengan bentuk ibadah apapun; Tidak boleh beribadah kepada seorang nabi atau lainnya. Dan tidak diragukan lagi, menyajikan makanan, minuman, uang dan lain sebagainya untuk para Nabi, Wali, atau lainnya yang telah mati, atau untuk patung-patung dan semacamnya, dengan penuh optimisme sekaligus rasa khawatir, termasuk prilaku beribadah kepada selain Allâh. Karena beribadah kepada Allâh adalah (dengan melaksanakan) apa yang diperintahkan oleh Allâh dan RasulNya.

Adapun jika yang dimaksudkan oleh syaikh Muhammad Hamid adalah (menjelaskan bahwa-red) uang, makanan, minuman serta binatang-binatang hidup yang disajikan oleh para pemiliknya untuk para Nabi, Wali, dan lainnya, itu semuanya haram diambil dan dimanfaatkan, maka itu pendapat yang tidak benar. Karena semua itu adalah harta benda yang bisa dimanfaatkan sementara para pemiliknya sudah tidak menginginkannya lagi. Barang-barang ini tidak sama hukumnya dengan bangkai. Kalau begitu, barang-barang tersebut boleh diambil dan dimanfaatkan oleh orang yang mengambilnya, sebagaimana harta yang ditinggalkan oleh pemiliknya untuk orang yang dikehendaki. Seperti buah yang masih ditangkai dan  buah kurma yang dibiarkan oleh para petani dan para pemetik kurma untuk orang-orang miskin. Dalilnya yaitu  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil harta yang ada di tempat penyimpanan pada berhala Latta dan harta itu dipergunakan oleh beliau untuk membayarkan hutang ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. Beliau memandang, persembahan harta ini sebagai sesajen untuk berhala Latta bukan sebagai penghalang bagi orang yang ingin mengambilnya, kalau mampu. Akan tetapi, siapapun yang melihat orang-orang yang tidak berilmu dan orang-orang musyrik melakukan perbuatan itu (memberikan sesaji), maka dia berkewajiban untuk mengingkari dan menerangkan kepada mereka bahwa perbuatan itu termasuk syirik. Sehingga tidak ada yang mengira, sikap diam tanpa pengingkarannya atau sikapnya yang mengambil barang tersebut sebagai dalil bahwa perbuatan itu boleh atau bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada selain Allâh itu boleh. Juga dikarenakan, syirik merupakan kemungkaran yang paling besar,  sehingga wajib diingkari. Namun, jika makanan itu dibuat dari daging sembelihan orang-orang musyrik, atau lemaknya, atau kuahnya, maka itu haram. Karena hukum sembelihan mereka sama dengan hukum bangkai, yaitu haram dan makanan yang tercampuri menjadi najis. Berbeda dengan roti dan yang semacamnya, yang tidak tercampuri sembelihan orang-orang musyrik, maka itu halal bagi orang yang mengambilnya. Demikian juga uang dan semacamnya (hukumnya halal) sebagaimana penjelasan diatas. Wallâhu a’lam. [Catatan kaki kitab Fathul Majîd, hlm. 151-152, penerbit. Dârul Fikr; cet. 7; th. 1399 H/ 1979 M].

Dari penjelasan Syaikh Bin Bâz rahimahullah ini, terpahami dengan jelas bahwa barang-barang yang telah beliau sebutkan itu halal. Namun perlu diingat, tidak boleh ada keyakinan bahwa benda-benda itu membawa berkah atau bencana. Demikian juga tidak boleh mengambilnya dengan cara-cara yang mengakibat si pengambil direndahkan oleh manusia, seperti berebutan dan semacamnya.

Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4750-hukum-memanfaatkan-sesajen.html